Denda dan Ganti Rugi (Ta'widh)
"Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu merupakan suatu kezaliman." (HR. Jama’ah).
Oleh karena itu, apabila debitur sengaja menunda-nunda pembayaran padahal mampu maka merugikan kreditor. Hal ini harus dihindari, dengan pengenaan denda. Denda ini tidak termasuk riba.
Dalam fikih muamalah, ada dua hal yang terkait dengan pihak (debitur dalam transaksi utang piutang atau pembeli dalam transaksi jual beli tidak tunai) yang terlambat menunaikan kewajibannya, yaitu denda keterlambatan (ta'zir) dan ganti rugi (ta'widh). Sebagaimana standar syariah internasional AAOIFI dan Fatwa Nomor 17 /DSN-MUI/IX/2000, denda/sanksi berupa uang itu sebagaimana dalam contoh itu diperkenankan dengan ketentuan berikut:
(a) Bertujuan agar mitra disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
(b) Dikenakan bagi pihak yang mampu membayar, tetapi sengaja menunda-nunda pembayaran.
(c) Denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
Sebagaimana Fatwa DSN MUI No 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh), ganti rugi diperkenankan dengan ketentuan:
(a) Dikenakan kepada pihak yang sengaja atau lalai melakukan penyimpangan dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
(b) Besar ganti rugi sesuai dengan nilai kerugian riil yang pasti dialami, bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi.
(c) Dikenakan pada transaksi yang menimbulkan utang piutang, seperti salam, istishna', serta murabahah, dan ijarah.
(d) Ganti rugi dapat diakui sebagai pendapatan.
Source : Instagram @ruanghalal
"Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu merupakan suatu kezaliman." (HR. Jama’ah).
Oleh karena itu, apabila debitur sengaja menunda-nunda pembayaran padahal mampu maka merugikan kreditor. Hal ini harus dihindari, dengan pengenaan denda. Denda ini tidak termasuk riba.
Dalam fikih muamalah, ada dua hal yang terkait dengan pihak (debitur dalam transaksi utang piutang atau pembeli dalam transaksi jual beli tidak tunai) yang terlambat menunaikan kewajibannya, yaitu denda keterlambatan (ta'zir) dan ganti rugi (ta'widh). Sebagaimana standar syariah internasional AAOIFI dan Fatwa Nomor 17 /DSN-MUI/IX/2000, denda/sanksi berupa uang itu sebagaimana dalam contoh itu diperkenankan dengan ketentuan berikut:
(a) Bertujuan agar mitra disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
(b) Dikenakan bagi pihak yang mampu membayar, tetapi sengaja menunda-nunda pembayaran.
(c) Denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
Sebagaimana Fatwa DSN MUI No 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh), ganti rugi diperkenankan dengan ketentuan:
(a) Dikenakan kepada pihak yang sengaja atau lalai melakukan penyimpangan dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
(b) Besar ganti rugi sesuai dengan nilai kerugian riil yang pasti dialami, bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi.
(c) Dikenakan pada transaksi yang menimbulkan utang piutang, seperti salam, istishna', serta murabahah, dan ijarah.
(d) Ganti rugi dapat diakui sebagai pendapatan.
Source : Instagram @ruanghalal